Peradin : Anggaran Bantuan Hukum Minim, Hukum Menjadi Alat Penguasa

peradin bantuan hukum anggaran Foto: Ketua Umum DPP Peradin, Ropaun Rambe.

Jakarta - Kondisi penegakan hukum akhir-akhir ini menjadi sorotan. Mulai dari azas persamaan di depan hukum, hingga minimnya anggaran bantuan hukum yang diberikan Pemerintah untuk membantu masyarakat kurang mampu yang tersangkut perkara.
 
Ketua Umum DPP Perkumpulan Advokat Indonesia (Peradin), Ropaun Rambe juga mengatakan, penegakan hukum sekarang ini sangat memprihatinkan.
 
“Penegakan hukum sekarang sangat memprihatinkan. Menurut saya, rezim Jokowi sudah melanggar UUD’45, khususnya pemerataan di depan hukum. Jokowi telah membinasakan hukum itu sendiri sebagai Presiden terutama dalam anggaran untuk bantuan hukum,” kata Ropaun ketika ditemui Indonesia REPORTS diruang kerjanya, di Jakarta.
 
Ia menjelaskan, jumlah perkara di Indonesia yang membutuhkan bantuan hukum hampir satu juta perkara per tahun. Tapi anggaran yang disiapkan Pemerintah untuk bantuan hukum kurang lebih hanya Rp 18 miliar per tahun.
 
“Jadi kalau satu perkara Rp 5 juta, hitung saja berapa perkara yang bisa dibantu. Mungkin hanya 30 ribu perkara,” ujarnya.
 
Ropaun mengatakan, dari kantor cabang Pos Bantuan Hukum Advokat Indonesia (POSBAKUMADIN) yang tersebar di seluruh Indonesia, rata-rata mengeluhkan dari anggaran yang diberikan Pemerintah itu.
 
“Kenapa? Niat kita sebagai relawan sudah oke, membantu orang miskin/orang tidak punya yang tersangkut perkara. Tapi negara menganggarkannya asal-asalan. Jadi ini bukan aparat penegak hukum yang tidak beres, tapi rezim,” tegasnya.
 
Ia mengisahkan, pada era Presiden SBY anggaran untuk bantuan hukum hampir Rp 60 miliar per tahun. Tapi di era pemerintahan sekarang turun drastis.
 
“Ini kan pilih kasih, pilih bulu. Jadi dimana hak masyarakat untuk memperoleh bantuan hukum? Ada bantuan hukum yang dibayar cuma-cuma oleh negara tapi minim sekali anggarannya. Sekarang akhirnya kita pun membatasi sesuai dengan anggaran yang ada. Kalau tidak ada anggaran apa yang bisa kita buat?,” tanyanya.
 
Hal lain yang menjadi sorotan Ropaun adalah fenomena maraknya aksi masyarakat yang melapor ke aparat penegak hukum. Tidak jarang, terkadang masalah yang dilaporkan hanyalah masalah kecil yang bisa diselesaikan di meja perundingan.
 
“Apakah anda tidak merasa hukum sudah menjadi alat penguasa? Itulah yang terjadi sekarang. Disalahgunakan fungsi dan peranan hukum. Untuk apa? Inilah yang diselewengkan. Kita kembali ke jaman otoritarian jaman orde baru. Ini yang terjadi. Sedikit-sedikit lapor, sedikit-sedikit tangkap. Ini yang tidak benar. Lapor-melapor ini memang hak setiap warga negara yang dirugikan hak hukumnya. Tapi kan petinggi-petinggi itu tidak pernah tersentuh, hanya masyarakat yang di bawah saja,” jelasnya.
 
Saya tidak pernah bergaul di masyarakat atas, saya bergaul di masyarakat bawah. “Yang sedikit-sedikit lapor itu ada muatan politik,” tutupnya.