Foto: Ilustrasi. Jakarta - Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dari Januari 2017 hingga pertengahan tahun 2017 ada 315 perkara tindak pidana korupsi dengan 348 terdakwa. Dari angka itu, ada 22 vonis bebas yang dijatuhkan majelis hakim. "Dari jumlah 348 terdakwa, 22 diputus bebas, 262 diputus 0-4 tahun penjara, 41 diputus 4-10 tahun penjara, 3 diputus 10 tahun penjara, dan 20 tidak teridentifikasi. Dari angka tersebut sebanyak 262 koruptor dihukum 0-4 tahun penjara yang termasuk dalam kategori ringan," kata peneliti ICW Aradila Caesar dalam konferensi pers di kantor ICW, Kalibata, Jakarta Selatan, Minggu (13/8). Menurut Caesar, ada 2 penyebab vonis itu tergolong ringan. Yang pertama, menurut Caesar, yaitu dari tuntutan jaksa yang sudah ringan, sedangkan yang kedua bisa dari putusan hakim yang menangani kasusnya. "Seringkali jaksa menuntut kurang dari 4 tahun, sangat ringan itu yang sering terjadi," kata Caesar. "Kemudian dari tipikor sendiri hakim juga sering memutus dalam ambang kategori yang sangat ringan, misalnya kategori hukuman satu tahun dan empat tahun, seringkali hakim memutuskan hukuman 1 sampai 1,5 tahun," imbuhnya. Dalam perkara korupsi, menurut Caesar, hakim seharusnya memiliki pedoman. Dengan demikian, menurutnya, vonis yang dijatuhkan pun akan sesuai dengan rasa keadilan. "Persoalannya kalau kita identifikasi, hakim tidak punya pedoman pemidanaan, jadi ketika hakim ditanya kenapa dihukum satu tahun, dua tahun, tiga tahun dan seterusnya, mayoritas hakim melakukan dengan perasaan," papar Caesar. "Ketika ditanya kenapa dua tahun tidak akan ada alasannya untuk menjelaskan hukumannya dua tahun. Kira-kira kriteria apa saja, apa saja yang memberatkan kemudian dimasukkan ke dalam formula yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa. Dan itu yang dapat dijatuhkan kepada terdakwa dan itu yang tidak dimiliki oleh hakim," tambahnya. Selain itu, Caesar juga menganggap tuntutan jaksa yang minim inovasi juga mempengaruhi ringannya vonis hukuman yang diterima koruptor. Menurutnya dengan begitu bisa timbul prasangka ada 'main mata' antara terdakwa dan hakim. "Tidak banyak keputusan pengadilan yang mencabut hak politik. Artinya jaksa tidak punya inovasi, padahal UU Tipikor sudah memberikan kewenangan pada jaksa untuk melakukan hal itu. Minim Inovasi ini bisa muncul prasangka ada main mata antara terdakwa dan hakim," ungkap Caesar. ICW merekomendasikan agar seluruh jajaran pengadilan memiliki kesamaan pandangan bahwa kasus korupsi merupakan kasus kejahatan luar biasa. Dengan begitu hukuman yang diberikan pun harus bisa menimbulkan efek jera, malu, dan ada pencabutan hak-hak tertentu, seperti hak politik untuk kasus yang berkaitan dengan politik. "Ini harus diwujudkan secara konkret, dalam bentuk terbitnya surat edaran Mahkamah Agung, agar hakim menjatuhkan vonis maksimal terhadap koruptor, termasuk dengan jaksa penuntut umum juga melakukan hal yang sama," ujarnya. BACA JUGA : KPK: Pendapatan Indonesia Seharusnya Rp 4.000 Triliun Per Tahun KPK Periksa Eni Maulani sebagai Saksi dalam Kasus PLTU Riau-1 KPK Duga Steffy Burase Ketahui Aliran Dana Sofyan Basir Janji akan Penuhi Panggilan Lanjutan KPK OTT Kalapas Sukamiskin, Menteri Yasonna: Itu Nggak Bisa Ditolerir Please enable JavaScript to view the comments powered by Disqus.