Foto: Koordinator Forum Diskusi Kebangkitan Indonesia (Forum DKI), Bandot DM. Jakarta - Pandemi Covid 19 seolah tiada ujung. Hari demi hari berita berita lebih kerap menyiarkan duka dan pesimisme. Puluhan ribu jiwa menjadi korban keganasan virus. Sementara ribuan lainnya masih bertarung melawannya, baik itu di rumah sakit, pusat pusat isolasi, di rumah, di kost, juga di gang-gang sempit di berbagai kota. Pandemi semakin jauh dari pengendalian. Program pengendalian wabah Pemerintah berjalan seolah tak beriringan. Rakyat semakin ripuh dan rapuh, tak ada kepastian dan jaminan mata pencaharian akibat kota yang disekat setengah hati. Pemerintah bukan tidak kerja, Presiden bahkan dikabarkan mengurangi waktu tidur dan makan hanya untuk memikirkan pandemi ini. Hanya tampaknya kendali dan pengawasan birokrasi yang justru terlihat lemah. Publik disuguhi drama saling bantah sesama kabinet. Apa yang diputus oleh A, dibatalkan oleh B hanya berselang hari. Lantas publik mesti patuh pada siapa? Di tengah hiruk pikuk ini, ada kelompok yang justru mendorong Presiden untuk turun, ada pula yang meminta reshuffle kabinet. Menurunkan presiden di saat bangsa ini memerlukan kepemimpinan dan stabilitas yang prima untuk mengatasi wabah jelas berisiko tinggi. Nafsu politisi untuk mengisi posisi pucuk akan memecah konsolidasi nasional. Distraksi politik dan polarisasi di level akar rumput akan jauh lebih buruk dibanding masa Pilpres 2019. Lantas, pantaskah jika membicarakan reshuffle di tengah situasi seperti ini? "Jelas sangat pantas," kata Bandot DM, Koordinator Forum Diskusi Kebangkitan Indonesia (Forum DKI), Senin (19/7). Dia menilai, salah satu faktor yang membuat penanganan Pandemi ini tidak optimal salah satunya karena kabinet yang tidak kompak dan tidak satu visi. Sedari awal, Forum DKI sudah mengingatkan risiko Kabinet Pelangi ini. Memang, saat dibentuk, belum ada pandemi dan kondisi sedang ”baik-baik saja". Sehingga Presiden, saat itu, tampak yakin merangkul seluruh golongan, termasuk kompetitornya saat Pilpres. Tetapi itu bukan alasan untuk tidak menimbang latar belakang dan kapasitas personel kabinet. Hasilnya, saat pandemi datang, tidak tampak menteri yang battle ready. Bahkan di saat awal wabah menyebar, sejumlah menteri justru over confidence dan mem-buly Corona. Meremehkan justru dengan jargon-jargon non ilmiah. Di titik ini saja, Presiden sudah layak mengevaluasi menteri-menteri tersebut. Sebab, mereka terbukti salah dan membahayakan rakyat. Hal pertama dan utama yang harus dilakukan presiden adalah menunjuk Juru Bicara resmi dan tunggal. Jika juru bicara yang ada dianggap kurang kapabel, dia bisa pilih siapa pun dari mana pun untuk mengemban tugas itu. Perlu digarisbawahi, saat ini publik sungguh memerlukan berita yang afirmatif dan tidak simpang siur. Berita yang disampaikan mesti melalui panel ahli, sehingga tidak ada berita abal abal yang keluar dari sumber resmi. Berita simpang siur adalah salah satu hal yang menambah frustasi rakyat. Di saat meregang nyawa, mereka disuguhi perdebatan pejabat terkait obat cacing, vaksinasi dan segala atribut profan yang justru membuat gaduh dan kalut. Jokowi mesti berani menindak menteri yang tidak searah dan sevisi dengan penanganan pandemi. Harus berani memeriksa menteri yang anggota keluarganya dikabarkan pelesiran ke luar negeri. Juga memberi sanksi kepada anggota kabinet yang diberitakan ikut wisata vaksin ke negeri Paman Sam di saat rakyat antre vaksin. Jokowi juga haris memberikan instruksi kepada penegak hukum di masa Pandemi untuk mengedepankan ketertiban kepada rakyat dan penegakan hukum kepada para penimbun obat. Jangan lagi pejabat penegak hukum justri bangga bisa membuat terobosan menghukum rakyat yang terpaksa melanggar PPKM untuk cari makan, tetapi gagap saat oksigen dan obat obatan langka akibat ditimbun. Sungguh, Presiden memerlukan menteri-menteri berkarakter dan bermental milenial, bukan sekedar usia. Menteri yang sanggup beradaptasi dan berkreasi di masa Pandemi demi Merah Putih, bukan demi keluarga dan kroni. Jokowi mesti memanggil Jaksa Agung dan Ketua KPK untuk memastikan seluruh koruptor yang berkaitan dengan penanganan pandemi agar dituntut hukuman mati. Dia juga memastikan menteri tetap bekerja selama WFH tidak asyik nonton sinetron, apalagi sampai membedahnya di media sosial. Seolah negeri ini sedang santai dan baik baik saja. Panglima TNI agar disiagakan untuk operasi militer selain perang (OMSP). Seluruh aset dan personel TNI harus dalam mode siaga I. Seluruh rumah sakit tentara, barak dan lapangan disiapkan untuk worse scenario. Rumah sakit lapangan pun disiagakan. Di saat yang sama, Jokowi pun harus memanggil seluruh kepala daerah (bisa melalui webinar atau daring). Bikin kanal yang bisa diakses secara umum oleh rakyat Indonesia. Tanyakan komitmennya dan kemampuannya untuk berakrobat mengatasi pandemi. Jika merasa tak mampu, suruh mundur saja. Era kini, sinkronisasi pusat daerah adalah kemutlakan. Sekarang era digital, tak ada lagi kendala koordinasi. Tetapi, kenapa semua tugas diarahkan kepada Jokowi. Sederhana saja, dia Presiden RI. Dia lah yang bertanggungjawab atas keselamatan bangsa dan negara RI. Tugas yang tampak berat akan mudah jika dia bisa tampil sebagai panglima yang mampu mengkoordinasi seluruh aset bangsa. Presiden harus melaksanakan ajaran Bung Karno, Ambeg Parama Arta. Seorang pemimpin harus pandai menentukan prioritas atau mengutamakan hal-hal yang lebih penting bagi kesejahteraan dan kepentingan umum.. Keselamatan rakyat adalah keutamaannya. BACA JUGA : Please enable JavaScript to view the comments powered by Disqus.