Capres Tiga Periode Versus Capres Independen

Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD di MPR Foto: Tamsil Linrung, Ketua Kelompok DPD di MPR

Bila di perhadapkan, lebih menonjol mana isu presiden tiga periode ketimbang calon presiden independen? Jawabannya jelas presiden tiga periode. Berkali-kali isu ini memuncaki klasemen pemberitaan. Setali tiga uang, fenomena yang sama juga terjadi pada narasi penambahan masa jabatan presiden. 

Bagaimana dengan isu presiden independen? Dinamikanya berbanding terbalik. Wacana ini kering sorotan, sunyi perdebatan, dan jauh dari headline news. Perhatian publik tersedot wacana presiden tiga periode, sehingga diskursus presiden perseorangan tak banyak mendapat tempat di ruang publik. Padahal, secara substansi, presiden independen lebih urgen dibicarakan hari-hari ini. 

Pertama, karena presiden independen diinginkan rakyat, sementara presiden tiga periode atau penambahan masa jabatan ditolak masyarakat. Indikatornya sederhana, survey.  Sebutlah hasil studi Lembaga Survei Indonesia, Oktober 2008, yang menemukan 61 persen rakyat menginginkan Capres Independen. Atau, temuan Soegeng Sarjadi School of Government pada Maret 2014 mengungkap 76,40 persen responden setuju Pilpres 2014 diramaikan Capres independen. 

Memang, sejauh ini belum ada hasil survei terbaru yang memantau kecendrungan minat masyarakat terhadap calon presiden perseorangan. Namun, dari roadshow Ketua dan Anggota DPD ke daerah-daerah beberapa bulan terakhir,  kecendrungan yang sama masih terasa. Bahwa masyarakat menginginkan calon presiden perseorangan sebagai alternatif menemukan pemimpin terbaik. 

Sementara itu, isu presiden tiga periode mendapat penolakan rakyat. Tempat mengacanya ada pada  hasil survey Sjaiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang menemukan sebanyak 74 persen responden menyatakan masa jabatan presiden cukup dua periode harus dipertahankan. Hanya 13 persen yang setuju diubah. Sebelumnya, sejumlah hasil riset juga menunjukkan kecendrungan serupa. 

Kedua, secara filosofis presiden independen lebih urgen dibicarakan karena muatannya merefleksikan semangat mendorong pilihan luas dan variatif bagi rakyat, sehingga potensi hadirnya calon pemimpin berkualitas lebih besar. Sebaliknya, isu presiden tiga periode atau perpanjangan masa jabatan presiden lebih merefleksikan motif dahaga kekuasaan. 

Ketiga, wacana presiden tiga periode memberi kesan pelanggengan oligarki elit. Sedangkan wacana presiden independen sebaliknya, dipandang mewakili aspirasi publik yang mulai menyadari bahaya oligarki dan superioritas partai politik dalam mengontrol mekanisme penyaringan kandidat calon presiden. 

Dipertahankannya aturan presidential threshold 20 persen adalah petunjuk nyata superioritas itu. Melalui presidential threshold, oligarki dan partai politik dapat berkelindan memunculkan kandidat yang diinginkannya saja, sekaligus mengebiri kemunculan kandidat dari partai politik kecil. 

Baik presiden tiga periode, perpanjangan masa jabatan presiden, atau presiden perseorangan punya jalan keluar yang sama, yakni amandemen UUD 1945. Di sanalah semua kepentingan akan bergumul. 

Bila presiden tiga periode atau penambahan masa jabatan presiden dipaksakan, ada potensi kepala daerah meminta hak yang sama. Kalau pemimpin eksekutif di pusat pemerintahan dijatah tiga periode, kenapa tidak dengan pemimpin eksekutif di daerah? 

Situasinya jelas berbeda dengan calon presiden independen, karena selama ini calon independen dibolehkan dalam pemilihan kepala daerah. Disahkannya calon independen dalam Pilkada langsung adalah bentuk terakomodirnya hak politik masyarakat untuk mimilih dan dipilih. Juga merupakan upaya menyerap sebanyak mungkin calon peserta Pilkada yang berkualitas. Argumentasi yang sama tentu berlaku pula pada Capres perseorangan. 

Dengan sejumlah pertimbangan itu, Dewan Perwakilan Daerah bertekad memperjuangkan dua hal esensial, yakni  presidential threshold nol persen dan calon presiden perseorangan. Karena perjuangan ini hanya bisa dilakukan dengan amandemen UUD 1945, maka DPD menyambut baik wacana amandemen yang tengah bergulir dan ikut berpartisipasi mewujudkannya. 

Perubahan UUD 1945 tentu harus menyorot seluruh problem yang menjadi sandungan dalam sistem tatanegara kita. Salah satunya adalah kewenangan DPD yang tidak sebanding dengan kedudukannya sebagai lembaga perwakilan daerah. 

Karena itu, penguatan kewenanganan DPD melalui amandemen UUD 1945 adalah sebuah keniscayaan, rasional, dan bahkan merupakan kebutuhan bangsa. Penguatan DPD akan memperkuat proses check and balances dan sistem demokrasi Indonesia secara umum. Penguatan DPD sekaligus akan memperkuat produk hukum yang dilahirkan parlemen, melalui dialektika dan perdebatan mendalam antara dua kamar dalam sistem bikameral. 

DPD adalah kanal aspirasi daerah, institusi negara yang dilahirkan guna mengakomodir kepentingan daerah dalam perumusan kebijakan di tingkat nasional. Termasuk diantaranya calon presiden perseorangan. Dalam sejumlah tulisan, saya telah mengurai urgensi calon presiden independen ini berikut kualifikasinya. Tak perlu mengulang kembali. 

Kini, masalah kita adalah bagaimana mendorong amandemen UUD 1945 sekaligus menjaganya dari invasi penumpang gelap. Sebab, masalah terbesarnya tidak terletak pada pelaksanaan amandemen, melainkan motif di balik amandemen. Kita harus meluruskan niat terlebih dahulu. Kalau motifnya memperbaiki negeri, ayo kita lakukan. Kalau motifnya kekuasaan, DPD di garda terdepan menolaknya. 

Maka sebelum kita memutuskan membuka amandemen, sebaiknya dilakukan pembahasan pendahuluan yang melibatkan semua fraksi di DPR dan Kelompok DPD di MPR. Tujuannya, agar DPR dan DPD memetakan dan memastikan hal-hal apa saja yang boleh dan tidak boleh di utak-atik. Dengan demikian, proses amandemen berlangsung fokus dan terarah, tidak liar membahas isu-isu di luar yang telah disepekati. 

DPD sendiri berpendapat untuk tidak mengagendakan pembahasan wacana presiden tiga periode atau turunannya seperti perpanjangan masa jabatan presiden. DPD sejak awal memang telah menyatakan sikap menolak dua wacana tersebut. Namun, dalam ruang demokrasi yang sedang kita tumbuhkan bersama, Anggota DPD tentu tidak berhak melarang pihak-pihak yang ingin membincangkan isu tiga periode ini di tengah masyarakat. Sepanjang tidak dalam rapat formal amandemen, silahkan. 

Kita bersyukur, Presiden Jokowi juga menyatakan menentang wacana presiden tiga periode. Tetapi, berbeda dengan Anggota DPD, Jokowi tentu punya hak melarang  penggunaan namanya dalam wacana presiden tiga periode. Jokowi, misalnya, berhak menegur penggagas Jokpro 2024 yang terang-terangan memakai nama beliau, padahal sang penggagas telah mengetahui sikap presiden yang menolak gagasan tiga periode. 

Bila presiden menegur, maka teguran itu tidak bisa dimaknai anti demokrasi. Teguran itu harus dimaknai sebagai upaya presiden menyelaraskan tindakan dengan ucapannya.