Foto: Tamsil Linrung Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI dan Pendiri Jaringan Sekolah Insan Cendekia Madani (ICM) Aksesibilitas dan kualitas. Itulah dua masalah mendasar di antara berbagai problem yang membelit dunia pendidikan Indonesia. Gap kesempatan belajar menganga lebar. Demikian juga ketimpangan kualitas pendidikan yang berimplikasi pada outcome sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Studi UNICEF, anak-anak dari keluarga miskin, penyandang disabilitas, dan yang tinggal di daerah-daerah tertinggal, merupakan kelompok yang paling berisiko putus sekolah. Siswa sekolah menengah pertama (SMP) dari rumah tangga termiskin misalnya, lima kali lebih mungkin putus sekolah daripada anak-anak dari rumah tangga terkaya. Situasi ini menggambarkan tidak meratanya kemampuan mengakses pendidikan di level menengah pertama. Trend putus sekolah, tentu saja semakin tinggi pada pada tingkat pendidikan di atasnya. Baik di SMA, dan terlebih perguruan tinggi. Spektrum isu aksesibilitas pendidikan juga mencakup problem geografis. Angka putus sekolah antara kawasan barat dengan kawasan Timur Indonesia terpaut jauh. Di Yogyakarta misalnya, meski secara ekonomi bukan kota paling makmur di pulau Jawa, namun Kota Pendidikan ini berhasil menekan angka putus sekolah hingga 1,3 persen. Sementara putus sekolah di Papua menyentuh angka 22 persen. Ketimpangan kemampuan akses terhadap pendidikan berdasarkan wilayah ini, merupakan akumulasi dampak turunan dari kebijakan politik masa lalu. Baik di daerah maupun di tingkat pusat. Pembangunan Jawa sentris mengakibatkan sendi-sendi kehidupan di daerah ikut tersumbat. Satu obstacle politik dunia pendidikan berhasil kita runtuhkan. Pasca mandatory spending sebesar 20 persen APBN untuk sektor pendidikan, sebetulnya kita berharap ada percepatan inklusi pendidikan. Tapi tampaknya, harapan itu harus disimpan dulu. Pendidikan, bagi banyak masyarakat Indonesia tetap saja masih jadi barang eksklusif. Sulit diakses. Menurut catatan UNICEF, hampir seperempat anak yang berusia 15 hingga 19 tahun dari 46 juta remaja di Indonesia tidak bersekolah. Mereka juga tercatat tidak bekerja dan tidak mengikuti pelatihan. Pengangguran remaja ini mencapai angka 15 persen. Mereka adalah anak-anak kita yang usia sekolah, namun putus sekolah dengan berbagai alasan. Problem utamanya tentu saja aksesibilitas. Bayangkan, 10-15 tahun ke depan, generasi ini berada di kelompok usia produktif. Bersama 70 persen penduduk Indonesia yang diharapkan membuka jendela peluang (windows of opportunity). Namun tanpa bekal pendidikan memadai, mereka tentu saja akan jadi beban. Negara, dengan berbagai kewenangan yang dimiliki, semestinya memberi kunci akses ke dunia pendidikan kepada setiap anak Indonesia. Jelas dan tegas, bahwa pendidikan merupakan amanat kemerdekaan. Mencerdaskan kehidupan bangsa, adalah salah satu alasan mengapa kita harus merdeka. Dengan kemerdekaan, kita seharusnya bisa membangun Indonesia menjadi bangsa yang bermartabat dan disegani. Artinya, jika pemerataan akses pendidikan belum juga dapat diwujudkan bahkan setelah 75 tahun Indonesia memproklamirkan diri, lalu buat apa kita merdeka? Pertanyaan tersebut tentu terkesan satire, namun itulah kenyataan yang kita hadapi. Pendidikan inklusif adalah persoalan sangat mendasar. Jangan disepelekan. Apalagi situasi pandemi Covid-19 juga telah memunculkan masalah baru sektor pendidikan. Persis diungkapkan oleh Angus Deaton, ahli mikroekonomi dari Pricenton University dan peraih nobel ekonomi tahun 2015. Bahwa pandemi Covid-19 secara transparan membuka selubung ketimpangan. Bagaikan sinar ronsen memindai tubuh manusia. Ketimpangan yang transparan itu, juga terlihat di sektor pendidikan di tengah pandemi. Ketimpangan akses terhadap pendidikan, rupanya bukan cuma terjadi antar wilayah. Namun juga bahkan dalam satu wilayah metropolitan seperti Jakarta. Investigasi media seperti beberapa waktu lalu diwartakan oleh stasiun radio BBC, melaporkan ada banyak anak-anak yang kesulitan menyesuaikan dengan sistem pembelajaran daring. Keluhan utamanya, memang soal ekonomi. Tidak punya smartphone misalnya. Atau tidak ada akses internet yang memadai dan terjangkau. Ilustrasi faktual tersebut, terjadi di Jakarta. Di Ibu Kota Negara dimana kebijakan-kebijakan pendidikan dihasilkan dan sumber anggaran digelontorkan. Bagaimana dengan di pelosok daerah? Situasi kontemporer pendidikan di masa Covid-19, tentu berisiko semakin memperdalam gap di dunia pendidikan. Belum selesai persoalan inklusi pendidikan, faktor determinan malah bertambah di luar dugaan. Lagi-lagi, pemerintah dibuat kelabakan. Lantas bagaimana dengan kualitas pendidikan kita? Setali tiga uang, problem pemerataan kualitas serupa dengan masalah akses. Coba kita cermati data-data berikut. Studi Bank Dunia menunjukkan, bahwa 55 persen orang Indonesia yang telah menyelesaikan jenjang pendidikan atau bersekolah, ternyata buta huruf secara fungsional. Buta huruf secara fungsional yaitu tidak dilengkapi dengan keterampilan yang diperlukan untuk berhasil memasuki pasar tenaga kerja. Bandingkan dengan di Vietnam yang angkanya 14 persen. Demikian pula di negara-negara anggota Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) sebanyak 20 persen. Indonesia bahkan juga jauh di bawah Afrika Selatan yang sama-sama negara berkembang (emerging market), dengan angka buta huruf fungsional 32 persen. Buta huruf fungsional lebih dari separuh penduduk Indonesia ini sesungguhnya mengonfirmasi betapa suram kualitas pendidikan kita. Maka tak heran bila riset salah satu lembaga menyimpulkan, bahwa pengangguran usia muda di Indonesia adalah yang tertinggi di ASEAN. Anehnya, mayoritas kaum muda yang menganggur ini justru lulusan SMA. Mereka mengantongi ijazah. Bahkan banyak yang menyandang gelar sarjana. Fakta ini, tentu saja berkebalikan dengan asumsi di tengah masyarakat. Bahwa pendidikan membuka peluang kerja lebih besar. Nyatanya, pendidikan yang ala kadarnya, justru menimbulkan masalah di kemudian hari. Masih ada fenomena lain yang tak kalah mencemaskan terkait masalah kualitas pendidikan. Semakin ke timur, pendidikan tampaknya semakin menurun mutunya. Semakin jauh dari pusat pemerintahan, pendidikan semakin kurang diperhatikan. Dampaknya, sekolah-sekolah dan kampus-kampus berkualitas menumpuk di pulau Jawa. Ketimpangan kualitas ini menimbulkan dampak turunan dalam struktur ekonomi, sosial dan politik secara masif. SDM berkualitas hingga pembangunan ekonomi terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu. Menimbulkan efek lingkaran setan. Ketimpangan spasial pendidikan menjadi mata rantai yang melanggengkan siklus ketimpangan pembangunan dalam berbagai dimensi. Pendidikan berkualitas, inklusif dan berkeadilan tentu saja menjadi dambaan kita semua. Negara, kita akui memang berupaya bergerak ke arah itu. Meski lamban, yang terlihat dari berbagai indikator pembangunan sektor pendidikan. Sebetulnya, memajukan pendidikan tidak melulu harus mengandalkan peran langsung negara semata. Secara anggaran, tidak mesti dari kocek negara. Dengan kewenangan yang dimiliki, pemerintah dapat mendorong keterlibatan sektor swasta melalui dukungan kebijakan. Terutama dalam menginjeksi dan akselerasi kualitas dan pemerataan akses pendidikan yang relevan. Dengan fleksibilitas yang dimiliki, institusi-institusi pendidikan swasta kerap kali jauh terdepan. Khususnya ketika berbicara aspek kualitas. Lembaga pendidikan swasta di level dasar sampai menengah, bahkan menjadi “satu industri”. Dirancang sebagai lembaga pendidikan yang berorientasi profit. Model pendidikan yang dikembangkan disambut positif oleh masyarakat. Di antara institusi pendidikan swasta ini, ada yang memang mengejar keuntungan murni laiknya korporasi bisnis. Namun tak sedikit pula lembaga pendidikan swasta yang mengarahkan keuntungan ekonomi dari “bisnis pendidikan” tersebut untuk memperluas spektrum kemanfaatan. Dialokasikan dalam bentuk beasiswa pendidikan berkualitas dengan jumlah besar dan skala luas, atau program-program pemberdayaan lainnya. Model “industri pendidikan” yang berorientasi sosial (social enterprise education), merupakan mesin pembangunan sektor pendidikan berkelanjutan yang semestinya digerakkan secara struktural. Direspons proaktif dengan sokongan kebijakan oleh pemerintah. Apalagi ekosistemnya mudah dibentuk. Sudah banyak lembaga pendidikan swasta yang menerapkan pendekatan bisnis sosial. Muatan kegiatan komersial diarahkan pada orientasi perubahan sosial dan kontribusi kemanusiaan. Daya ungkit (leverage) model pendidikan yang berorientasi bisnis sosial bahkan dapat meningkatkan angka partisipasi pendidikan setiap tahun. Social enterprise education, merupakan antitesis kecenderungan bisnis pendidikan yang mengarah pada kapitalisasi. Anehnya, ada tren yang mengkhawatirkan. Industri pendidikan bergerak ke arah perilaku yang sangat korporat. Lihatlah misalnya bagaimana lembaga-lembaga bimbingan belajar, kursus dan balai pelatihan dibanderol laiknya produk jasa flagship. Jadi komoditas. Setali tiga uang, negara ikut melanggengkan. Kebijakan pendidikan sangat kontradiktif satu sama lain. Di UU Omnibus Law misalnya, institusi pendidikan di Kawasan Ekonomi Khusus digolongkan laiknya institusi bisnis. Institusi swasta yang biasanya berorientasi sosial, keagamaan dan gotong royong yang selama ini mewadahi lembaga pendidikan, dipaksa menjadi institusi bisnis. Contoh di atas, hanya satu dari sekian banyak inkonsistensi kebijakan di sektor pendidikan. Untuk membereskan semua persoalan ini, dari soal inklusivitas, kualitas, pemerataan hingga menegakkan kebijakan secara konsisten, para pemangku kepentingan harus konsekuen dalam melaksanakan amanat Undang Undang Dasar 1945. Menegakkan konstitusi di sektor pendidikan. Jika pendidikan dilihat sebagai komoditas, sebagai mesin dan faktor produksi yang berorientasi sekadar untuk mencetak tenaga kerja, maka selamanya bangsa kita tidak bisa mencapai esensi pendidikan yang jadi amanat kemerdekaan. Maka, prioritas pertama untuk menyelesaikan semua masalah yang membelit dunia pendidikan adalah meluruskan kiblat pendidikan. Jika arah dan orientasinya sudah lurus, tidak melenceng, Insya Allah problem-problem turunannya akan dengan mudah diselesaikan. BACA JUGA : Idris Laena Terpilih Jadi Ketum Satkar Ulama Indonesia Capres Tiga Periode Versus Capres Independen Megawati Layak Sandang Gelar Profesor Ketika Hasil Survei Membuktikan Kinerja Kabareskrim Polri Memuaskan Please enable JavaScript to view the comments powered by Disqus.