Revisi UU Perikanan Harus Sejahterakan Nelayan dan Pekerja Perikanan

perikanan knti nelayan pajak Foto: Nelayan berdemo di depan Istana Merdeka, Jakarta. (27/2/2015)

Jakarta - DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) meminta agar revisi undang-undang perikanan harus menjadi pintu masuk bagi kesejahteraan nelayan dan pelaku usaha perikanan di Indonesia.

Ketua KNTI, Marthin Hadiwinata, dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (27/2), mengatakan revisi ini seharusnya melakukan porsi yang besar dengan pembagian usaha perikanan dengan menekankan kegiatan pasca-produksi. Dengan menekankan kegiatan pasca-produksi akan meningkatkan nilai komoditas perikanan yang dapat bersaing di dalam maupun di luar negeri.

Permasalahan UU Perikanan sebelumnya yang diatur dalam UU No. 31/2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 45/2009 tidak memiliki pengaturan mengenai pasca-produksi.

Secara politik hukum UU Perikanan berfokus berat kepada kegiatan Produksi. Hal ini dilihat dari lebih dari 100 pasal dalam UU Perikanan, sebanyak 52% membahas tentang produksi; sebanyak 29,4% membahas tentang praproduksi.

"Kemudian 15% mengatur tentang pra hingga pasca produksi; dan hanya 17,6% membahas tentang pasca produksi. Revisi UU Perikanan dengan draft terakhir tertanggal 13 Februari 2017 masih berbicara di tataran yang sama yakni bertumpu kepada aspek produksi," kata Marthin.

Di sisi lain,  lebih dari 13 juta tenaga kerja di sektor perikanan, sebanyak 51% beraktivitas di produksi (tangkap dan budidaya), 38% di pemasaran, dan hanya 11% di sektor pengolahan. Padahal dengan lapangan kerja yang terbuka di bagian pasca produksi yaitu di pengeolahan maka akan membuka lapangan pekerjaan yang lebih besar.

"Namun tentu dengan adanya perlindungan pekerja yang baik meliputi kondisi kerja yang layak, perlindungan asuransi dan masa tua, pengawasan ketenagakerjaan yang kuat hingga masalah pengupahan. Hal tersebut juga tidak diatur Revisi Undang-Undang Perikanan," ujarnya.

Lebih lanjut Marthin menyatakan, permasalahan lintas kementerian dan lembaga patut menjadi perhatian khusus. Khususnya terkait dengan hasil uji 226 sampel kapal ikan yang uji petik oleh KKP pada tahun 2015. Hasilnya menunjukkan terdapat lebih dari 80%-nya melakukan mark-down berat kotor (gross tonnage) menjadi kurang dari 30 GT.

"Hal ini berimbas kepada penyelundupan kewajiban pajak hingga pungutan hasil perikanan dan diperparah dengan mengakses bahan bakar minyak yang disubsidi oleh negara. Permasalahan ini tidak diselesaikan oleh revisi UU Perikanan," ungkap dia.

Terakhir, Ia menuturkan, terkait dengan nelayan kecil yang masih dihadapkan dengan rezim pengaturan yang sama yang akan kembali memarjinalkan mereka dengan pengaturan yang lemah terkait dengan tenurial.

"Nelayan kecil diberikan kebebasan menangkap ikan di seluruh wilayah Indonesia tetapi tidak ada upaya untuk melindungi wilayah perikanan tangkap yang telah dimanfaatkan secar turun temurun," ujarnya.