KPK: Pelimpahan Tahap Dua Bupati Sabu Raijua

kpk ntt bupati febri Foto: Juru Bicara KPK, Febri Diansyah.

Jakarta - KPK melakukan pelimpahan tahap dua terhadap Bupati nonaktif Sabu Raijua NTT Marthen Dira Tome yang ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi dana pendidikan luar sekolah pada Sub Dinas PLS Dikbud NTT tahun 2007.

"Terkait kasus indikasi korupsi di NTT hari ini dilakukan pelimpahan dari penyidikan ke penuntutan terhadap tersangka Marthen Dira Tome," kata Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah di Gedung KPK, Jakarta.

Selain itu, kata Febri, penahanan Marthen Dira Tome juga dipindahkan ke Rumah Tahanan Klas I Surabaya untuk proses lebih lanjut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Pengadilan Negeri Surabaya.

Terkait alasan pemindahan ke Surabaya tersebut, Febri menyatakan bahwa ada beberapa peristiwa yang melibatkan Marthen Dira Tome di sana.

Kasus korupsi dana PLS ini sendiri merupakan hasil koordinasi dan supervisi KPK dengan Kejaksaan Tinggi NTT. Penyerahan kasus ini dilakukan pada Oktober 2014 dan pemeriksaan terakhir saksi dilakukan pada 31 Maret 2016.

Marthen Dira Tome saat kasus itu terjadi menjabat sebagai Kepala Subdinas PLS Provinsi NTT dan pejabat pembuat komitmen.

PLS merupakan dana dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan NTT pada 2007 yang diambil dari dana APBN. Pada 2007 ada dana yang disebut dekonsentrasi APBN sebesar Rp77,6 miliar yang terdiri atas program pendidikan formal dan informal, program Pendidikan Anak Usia Dasar (PAUD), program pengembangan budaya baca dan program manajemen pengembangan pendidikan.

Namun nilai kerugian negara masih dihitung.

Terhadap Marthen, KPK menyangkakan pasal 2 ayat (1) subsider pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1.

Pasal tersebut mengatur mengenai setiap orang yang melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara, maupun setiap orang yang penyalahgunaan kewenangan karena jabatan yang dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara.

Ancaman pelaku yang terbukti melanggar pasal tersebut adalah pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar. (Antara)