Foto: Gedung DPR RI. Jakarta - Belum lama ini Sekretariat Jenderal (Setjen) DPR RI bekerjasama dengan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika mengadakan Sosialisasi dan Launching Aplikasi Kartu Tanda Pengenal (AKTAL) sebagai pelaksanaan tugas akhir Diklat Pim IV Angkatan V. Dalam acara tersebut juga dibahas seputar keamanan dan pendataan para tamu yang berkunjung ke Gedung DPR RI. Menurut catatan, setiap harinya ada sebanyak 7.000 sampai dengan 9.000 orang yang berlalu-lalang, dan ada area yang bisa dimasuki, ada juga area yang tidak bisa dimasuki. “DPR ini terlalu bebas untuk dimasuki para tamu. Jangan sampai orang yang tidak jelas identitasnya bisa masuk dengan mudah tanpa adanya scanning,” kata Kepala Biro Umum Setjen DPR RI, Djustiawan Widjaya di Gedung DPR RI, Jakarta, Jumat (24/11). Masalah keamanan, sambung Djustiawan tidak bisa tawar menawar, semua parlemen di dunia memiliki keamanan dengan batasan yang jelas untuk masuk ke dalamnya. “Di DPR ini bukan tidak terkendali tetapi semua orang bisa keluar masuk dengan mudah. Nantinya masuk ke DPR akan lebih ketat,” tuturnya. AKTAL sebagai proyek perubahan, dengan adanya AKTAL ini bisa membuat para tamu terfilter dengan sistem yang ada. “Aplikasi ini untuk seluruh Anggota DPR RI, Tenaga Ahli, Pegawai DPR, Staf dan OB yang bekerja di DPR RI,” tambahnya. Area Gedung DPR RI seluas 42 Hektar ini, menurut Djustiawan tidak mudah dalam mengatur keamanannya, tetapi ini merupakan langkah awal untuk mengaturnya. “Adapun realisasinya harus segera tapi tentunya dengan koordinasi karena menyangkut dengan peyimpanan data yang besar dan jaringan yang kuat," ujarnya. Kepala Biro Umum Setjen DPR RI, Djustiawan Widjaya. Seperti diketahui, Kompleks Parlemen didirikan pada 8 Maret 1965. Saat itu, Presiden Soekarno mencetuskan untuk menyelenggarakan CONEFO (Conference of the New Emerging Forces) yang merupakan wadah dari semua New Emerging Forces. Anggota-anggotanya direncanakan terdiri dari negara-negara Asia, Afrika, Amerika Latin, negara-negara Sosialis, negara-negara Komunis, dan semua Progresive Forces dalam kapitalis. Conefo dimaksudkan sebagai suatu tandingan terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Melalui Keppres No. 48/1965, Soekarno menugaskan kepada Soeprajogi sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT). Menteri PUT kemudian menerbitkan Peraturan Menteri PUT No. 6/PRT/1965 tentang Komando Pembangunan Proyek Conefo. Gedung Kura-kura alias Gedung Parlemen RI yang berada di Kompleks Parlemen berdiri di atas lahan wakaf bekas lembaga pendidikan Islam yakni Madrasah Islamiyah yang merupakan cikal bakal lahirnya Pondok Pesantren Darunnajah. Pembangunan Bertepatan dengan Perayaan Dasa Warsa Konferensi Asia-Afrika pada 19 April 1965 dipancangkanlah tiang pertama pembangunan proyek political venues di Senayan Jakarta. Rancangan Soejoedi Wirjoatmodjo Dpl Ing ditetapkan dan disahkan Presiden pada 22 Februari 1965. Maketnya menampakkan seluruh bangunan komplek dan rancangan aslinya tampak keseluruhan saat dipandang dari Jembatan Semanggi. Ketika pembangunannya dilanjutkan oleh pemerintah Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto, nuansa danau buatan tak tampak dan bangunan komplek terlihat ketika melewati Jalan Gatot Subroto. Ruang Arkada di bawah tanah ditiadakan dan luasnya menjadi 60 ha, dengan luas bangunan sekitar 80.000 m2. BACA JUGA : Berbenah, Menuju Pelayanan Prima AKP Dicky: Polres Tangsel Sudah Berlakukan ETLE Mobile dan Akan Ada Penambahan Prestasi Gemilang Dipromosikan Bintang Satu dan Menjabat Karojakstra Srena Polri Bayar Pajak Kendaraan Sebelum Jatuh Tempo Pelayanan Berbasis Online, Memberikan Keamanan dan Kenyamanan Masyarakat Please enable JavaScript to view the comments powered by Disqus.